A. Al-Qur’an
1. Pengertian Al-Qur’an
Secara Etimlogi, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang artiya bacaan atau himpunan. Al-Qur’an berarti bacaan, karena merupakan kitab yang wajib dibaca dan dipelajari, dan hipunan karena merupakan himpunan firman-firman Allah SWT (wahyu). Sedangkan secara terminologi Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah SWT yang diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Rasul/Nabi terakhir Nabi Muhammad SAW, yang membacanya adalah ibadah.
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dibacakan secara mutawatir sebaga petunjuk bagi seluruh umat manusia. Terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6666 ayat, 86 surat turun di Mekah (Makiyah) berisi tentang Tauhid dan jihad dan 28 surat turun di Madinah (Madaniyah) bersi tentang undang-undang kemasyarakatan.
2. Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kitab Allah menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama bagi umat Islam, baik yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia denga sesamanya dan manusia dengan alam.
3. Fungsi Al-Qur’an
a. Al-Huda (petunjuk)
Al-Qur’an sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana firman Allah SWT Q.S Fushshilat ayat 44 yang artinya :
“Dan Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka[1334]. mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh".
b. Al-Furqon (Pemisah)
Al-Qur’an yang membedakan atau memisahkan antara yang hak dan yang batil atau antara yang benar dengan yang salah
c. Asy-Sifa’( Obat) dan Ar-Rahman (Kasih Sayang)
Al-Qur’an sebagai penyembuh penyakit hati seperti takabur, serakah, dzolim dan dengki dapat merusak kemanan seseorang dan apabila seseorang telah rusak atau sampai hilang keimanannya, maka manusia itu jahatnya dapat melebihi binatang. Akan tetapi didalam a Al-qur’an telah dijeaskan petunjuk-petunjuk yang bisa menyembuhkan penyakit hati tersebut. Dan Al-quran adalah sebagai rahmat atau bentuk kasih sayang dari Allah bagi umat manusia.
Sebagaimana firman Allah SWT Q.S al-Isra' ayat 82 yang artinya :
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”
d. Al-Mau’izah (Nasihat)
Sebagaimana firman Allah SWT Q.S Yunus ayat 57 yang artinya :
“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
B. Al-Hadits
1. Pengertian Hadits
Pengertian hadits dapat di artikan menurut dua cara yakni menurut bahasa (etimologis) dan menurut terminologi. Menurut Ibn Manzhur, kata hadis berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hadits, jamaknya al-ahadits, al-haditsan dan al-hudtsan. Secara etimologis terdiri dari beberpa arti, yaitu al-jadid yang berarti baru al-qadid yang artinya dekat, dan al-khabar yang artinya kabar atau berita.
Sedangkan pengertian hadits secara terminologis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.
Seperti disebutkan di atas, bahwa definisi ini memuat empat elemen, yaitu perkataan, perbuatan, pernyataan, dan sifat-sifat lain. Secara lebih jelas dari ke empat elemen tersebut dapat penulis uraikan sebagai berikut :
a. Perkataan
Yang dimaksuddengan perkataanadalahsegalaperkatan yang pernah diucapkan olehNabi Muhammad SAW dalam berbagai bidang, seperti bidang syariah, akhlaq,aqidah,pendidikan dan sebagainya.
b. Perbuatan
Perbuatan adalahpenjelasan-penjelasan praktis Nabi Muhammad SAW terhadap peraturan-peraturan syara’ yang belum jelas tehknik pelaksanaannya. Seperti halnya jumlah rakaat, cara mengerjakan haji,caraber zikir dan lain-lain. Perbuatan nabi yang merupakan penjelasan tersebut haruslah diikutidan dipertegas dengan sebuah sandanya.
c. Taqrir
Taqrir adalah keadaan beliau yang mendiamkan atau tidak mengadakan sanggahan dan reaksi terhadap tindakan atau perilaku para sahabatnya serta menyetuui apa yang dilakukan oleh para sahabatnya itu.
d. Sifat, keadaandan himmah Rasulullah
Sifat-sifatdankeadaan himmah Nabi Muhammad SAW adalah merupakan komponenHadist yang meliputi :
- Sifat-sifat Nabi yang digambarkandan ditulikan oleh para sahabatnya dan para ahli sejarah baik mengenai sifat jasmani ataupun moralnya.
- Silsilah (nasab), nama-nama dan tahun kelahirannya yang ditetapkan oleh para sejarawan.
- Himmah (keinginan) Nabi untuk melaksanakan suatu hak, seperti kenginan beliau untuk berpuasa setiap tanggal 9 Muharram.
I- HADITS YANG DILIHAT DARI BANYAK SEDIKITNYA PERAWI
I-1-Hadits Mutawatir
I-2- Hadits Ahad, terdiri dari:
I-2-a- Hadits Shahih
I-2-b- Hadits Hasan
I-2-c- Hadits Dha’if
I-2-a- Hadits Shahih
I-2-b- Hadits Hasan
I-2-c- Hadits Dha’if
II. MENURUT MACAM PERIWAYATANNYA
II-1 Hadits yang bersambung sanadnya:(yaitu disebut hadits Marfu’ atau hadits Maushul)
II-2- Hadits yang terputus sanadnya:
II-2-a- Hadits Mu’allaq
II-2-b- Hadits Mursal
II-2-c- Hadits Mudallas
II-2-d- Hadits Munqathi
II-2-e- Hadits Mu’dhol
II-2-a- Hadits Mu’allaq
II-2-b- Hadits Mursal
II-2-c- Hadits Mudallas
II-2-d- Hadits Munqathi
II-2-e- Hadits Mu’dhol
III. HADITS-HADITS DHA’IF DISEBABKAN OLEH CACAT PERAWI
III-a- Hadits Maudhu’
III-b- Hadits Matruk
III-c- Hadits Munkar
III-d- Hadits Mu’allal
III-f- Hadits Mudhthorib
III-g- Hadits Maqlub
III-h- Hadits Munqalib
III-i- Hadits Mudraj
III-j- Hadits Syadz
III-b- Hadits Matruk
III-c- Hadits Munkar
III-d- Hadits Mu’allal
III-f- Hadits Mudhthorib
III-g- Hadits Maqlub
III-h- Hadits Munqalib
III-i- Hadits Mudraj
III-j- Hadits Syadz
BEBERAPA PENGERTIAN DALAM ILMU HADITS
I. HADITS YANG DILIHAT DARI BANYAK SEDIKITNYA PERAWI
I.A. Hadits Mutawatir
Yaitu hadits Rasulullah SAW (catatan tentang sesuatu hal yang dikatakan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, HANYA oleh dan dari Beliau SAW, dan TIDAK SELAIN Beliau SAW ) yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
Yaitu hadits Rasulullah SAW (catatan tentang sesuatu hal yang dikatakan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, HANYA oleh dan dari Beliau SAW, dan TIDAK SELAIN Beliau SAW ) yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:
[1]. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan dan (menyampaikannya) dengan kalimat bernada pasti. [Sifat kalimatnya Qath’iy (pasti) dan tidak Dzanni (berdasarkan dugaan) ].
[2]. Sandaran penyampaiannya kepada sesuatu yang konkret, yaitu perawinya menyaksikan secara langsung dengan matanya sendiri bahwa hal itu dikatakan/dilakukan oleh Rasulullah SAW, atau mendengar secara langsung dengan telinganya sendiri bahwa hal itu dikatakan/dilakukan oleh Rasulullah SAW, seperti misalnya:
“sami’tu” = aku mendengar
“sami’na” = kami mendengar
“roaitu” = aku melihat
“roainaa” = kami melihat
“sami’na” = kami mendengar
“roaitu” = aku melihat
“roainaa” = kami melihat
[3]. Bilangan (jumlah) perawinya banyak, sehingga menurut adat kebiasaan mustahil mereka berdusta secara berjamaah dan bersama-sama. Dan kesemuanya menyampaikan dengan nada kalimat yang bersifat Qath’iy (pasti) dan tidak Dzanni (berdasarkan dugaan).
[4]. Bilangan Perawi yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal sanad, pertengahan sampai akhir sanad. Rawi yang meriwayatkannya minimal 10 orang. Perawi2 tersebut terdapat pada semua generasi yang sama. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya, kalau ada suatu hadits yang diberi derajat mutawatir itu diriwayatkan oleh 5 orang sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 orang Tabi’in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.
Catatan:
Apabila satu saja dari syarat-syarat di atas tidak terpenuhi maka TIDAK BISA digolongkan sebagai hadts mutawatir.
Apabila satu saja dari syarat-syarat di atas tidak terpenuhi maka TIDAK BISA digolongkan sebagai hadts mutawatir.
I.B. Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah “Dhonniy”. Sebelumnya para ulama ahli hadits membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha’if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah “Dhonniy”. Sebelumnya para ulama ahli hadits membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha’if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:
I.B.1. Hadits Shahih
Menurut imam ahli hadits Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
Menurut imam ahli hadits Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
I.B-1-a. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
I.B-1-b. Harus bersambung sanadnya
I.B-1-c Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
I.B-1-d Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
I.B-1-e Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
I.B-1-f Tidak cacat walaupun tersembunyi.
I.B-1-b. Harus bersambung sanadnya
I.B-1-c Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
I.B-1-d Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
I.B-1-e Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
I.B-1-f Tidak cacat walaupun tersembunyi.
I.B.2. Hadits Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.
I.B.3. Hadits Dha’if
Ialah hadits yang tidak bersambung (terputus) sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
Ialah hadits yang tidak bersambung (terputus) sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
II. HADITS MENURUT KUALITAS PERIWAYATANNYA
II.A. Hadits yang bersambung sanadnya
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu’ atau Maushul.
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu’ atau Maushul.
II.B. Hadits yang terputus sanadnya
II.B.1. Hadits Mu’allaq
Hadits ini disebut juga hadits yang “tergantung”, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha’if.
Hadits ini disebut juga hadits yang “tergantung”, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha’if.
II.B.2. Hadits Mursal
Disebut juga hadits yang ”dikirim”, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan Sahabat yang menerima hadits itu.
Disebut juga hadits yang ”dikirim”, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan Sahabat yang menerima hadits itu.
II.B.3. Hadits Mudallas
Disebut juga hadits yang ‘disembunyikan’ cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
Disebut juga hadits yang ‘disembunyikan’ cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
II.B.4. Hadits Munqathi
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain Sahabat dan Tabi’in.
II.B.5. Hadits Mu’dhol
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan Tabi’in yang menjadi sanadnya.
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan Tabi’in yang menjadi sanadnya.
Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas. Apabila BERTENTANGAN dengan ciri-ciri hadits Shahih maka bisa dikategorikan termasuk hadits-hadits dha’if.
III. HADITS-HADITS DHA’IF (Lemah) DISEBABKAN OLEH CACAT PERAWI
III.A. Hadits Maudhu’
Yang berarti ‘yang dilarang’, yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.
Yang berarti ‘yang dilarang’, yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.
III.B. Hadits Matruk
Yang berarti ‘hadits yang ditinggalkan / diabaikan’, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan hanya oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.
Yang berarti ‘hadits yang ditinggalkan / diabaikan’, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan hanya oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.
III.C. Hadits Munkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh perawi yang dikenal terpercaya / jujur. Maka hadits semacam ini tidak boleh digunakan, dan sebagai gantinya harus menggunakan hadits dengan topik yang sama namun yang diriwayatkan oleh perawi lain yang dikenal terpercaya / jujur.
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh perawi yang dikenal terpercaya / jujur. Maka hadits semacam ini tidak boleh digunakan, dan sebagai gantinya harus menggunakan hadits dengan topik yang sama namun yang diriwayatkan oleh perawi lain yang dikenal terpercaya / jujur.
III.D. Hadits Mu’allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat, yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Al-Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma’lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat, yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Al-Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma’lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).
III.E. Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) yang kacau atau tidak sama dan berkontradiksi dengan yang dikompromikan.
Artinya hadits yang kacau, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) yang kacau atau tidak sama dan berkontradiksi dengan yang dikompromikan.
III.F. Hadits Maqlub
Artinya hadits yang ‘terbalik’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang didalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
Artinya hadits yang ‘terbalik’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang didalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
III.G. Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
III.H. Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya, sehingga mengurangi kualitas keaslian hadits tersebut, atau bahkan merubah pengertian dari hadits tersebut.
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya, sehingga mengurangi kualitas keaslian hadits tersebut, atau bahkan merubah pengertian dari hadits tersebut.
III.I. Hadits Syadz
Hadits yang ‘jarang’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya), namun isinya bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut mayoritas ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.
Hadits yang ‘jarang’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya), namun isinya bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut mayoritas ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.
2. Kedudukan Hadist
Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang ditutunkan oleh Allah Swt. Kitab Al-Qur’an adalah sebagai penyempurna yang diturunkan Allah dari yang pernah diturunkan sebelumnya. Al-Qur’an dan hadist merupakan sumber pokok jaran islam dan merupakan rujukan umat islam dalam memahai syariat.
Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an menatakan bahwa Pokok-pokoq ajaran Al-Qur’an begitu dnamis serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yan lebih dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya. (Drs. Achmad Syauki, Sulita Bandung, 1985 : 33).
a. Hadist sebagai sumber hukum kedua Islam
Para ulama juga telah sependapat bahwa setelah Al-Qur’an sebagai landasn utama hukum Islam maka hadis dijadikan landasan kedua. Kenapa demikian, karena sifat ayat dalam Al-Qur’an yang masih bersifat global, dan perlu penalaran yang dalam. Hal penalarannya harus disampingi oleh hadis. Hadist sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an,
3. Fungsi hadist
Fungsi hadist terhadap Al-qur’an dapat dipetakan menjadi empat kategori, diantaranya:
a. Bayan at-tafsir
Menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal, dan musytarak. Fungsi hadis dalam hal ini adalah memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhshish ayat-ayat yang masih umum.
Di antara contohnya adalah perintah sholat, namun Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara sholat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajibaan sholat tersebut dijelaskan oleh nabi SAW dengan sabdanya:
صَلُّوْاكَمَارَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي ( روهالبخاري )
Artinya:
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (H.R.Bukhari)
b. Bayan at-taqrir
Hadis yang berfungsi untuk memperkuat pernyataan atau isi kandungan Al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah:
Q.S. al-Baqarah ayat 185
“......karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa......”
Ayat di atas di taqrir oleh hadis Nabi SAW, yaitu:
إِذَارَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْاوَإذَارَأيْتُمُوْهُ فَأفطِرُوْا رواه مسلم عن ابن عم )
Artinya:
“.....apabila kalian melihat (ru’yat) bulan, berpuasalah, begitu pula apabila melihat (ru’yat) bulan itu, berbukalah.....” (H.R. Muslim dari Umar)
c. Bayan an-nasakh
Sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi Al-Qur’’an yag datang kemudian. Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama adalah sabda Rasul SAW dari Abu Umamah Al-Bahaili,
إِنَّ اللهَ قَدْأعطَى كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصَيْةَ لِوَارِثٍ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H.R. Ahmad dan Al-Bar’ah, kecuali An-Nasa’i. Hadis ini dinilai hasan oleh Ahmad dan At-Tirmizi)
Hadis ini menurut mereka men-naskh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180 yang artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(Q.S. al-Baqarah: 180)
4. Hubungannya dengan Al-Qur’an
a. Hadis menguatkan hukum yang ditetapkan Al-Qur’an
b. Hadis memberikan rincian terhadap pernyataan Al-Qu’an yang bersifat global
c. Hadis membatasi kemutlakan yang dinyatakan oleh Al-Qur’an
d. Hadis memberikan pengecualian terhadap penguasaan Al-Qur’an yang bersifat umum
e. Hadis menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an
0 komentar:
Posting Komentar